player playlist
Weird Girl

ABOUT ENTRY TWITER FACEBOOK Ask.fm INSTAGRAM
Karena Pelukmu Selalu Berhasil Menenangkanku
Selasa, 06 September 2016 • 3:49 PM • 0 comments
Entah. Kejadian malam itu sungguh kelam. Seakan aku terkejar oleh bayang yang selalu mencoba untuk menghantam. Coretan demi coretan ia goreskan tanpa sadar. Membuatku mencari-cari tempat untuk bersandar. Dan kini aku semakin percaya, bahwa cinta memang datang karena terbiasa.

Dipenghujung hujan, aku menatap kosong dedaunan. Berusaha menyembuhkan luka, menumbuhkan rasa. Aku tertawa, namun hatiku terluka. Aku menyembunyikan rasa sepi dibalik seluruh gejolak hati. Terpaku ku terdiam, kemudian sosokmu tiba-tiba datang.

Ku tak berharap lebih soal rasa. Semua adalah sesuatu yang fana. Terlebih lagi aku menyadari, bahwa ku tak seharusnya mencintai. Apalagi mencintai dirimu, yang jelas hanya sebatas kawan dekatku. Bayangan itu selalu berusaha kuhapus karena aku tahu lagi-lagi itu akan pupus. Ku tak mengerti rasa ini, seperti pahit yang tak kan terpisah dari kopi. Ku pikir aku terus terjatuh dalam angan yang nantinya juga akan menghilang. Aku pikir... Aku jatuh cinta.

Sudah kubilang, bukan? Aku tak ingin kau peluk! Aku sungguh tak ingin membiasakan diriku pada 'angan'. Karena aku telah kehilangan kepercayaan. Sungguh, aku tak berkelakar, namun kurasa aku memang butuh bahu untuk bersandar. Sengaja atau tidak. Sadar atau tidak. Merasa atau tidak. Bahumu sungguh membuatku tak ingin pergi. Dan lagi-lagi aku terjebak mimpi.

Aromamu menjadi hal pertama yang aku cari. Bayangmu menjadi tempatku berteduh setiap hari. Sosokmu yang pernah hanya sebatas mimpi. Seakan terlukis oleh takdir yang tak kunjung memiliki cerita akhir. Aku menemukan hatiku kembali. Aku melihat sosok diriku kembali. Aku jadi mengerti rasa manis dalam kopi. Terima kasih, Tuhan. Engkau telah mempertemukanku dengan sosok yang menenangkan. Sosok yang teduh namun mendebarkan. Sosok yang tak pernah aku bayangkan. 

Terakhir. Aku berharap kita tak akan menemui akhir. Menerobos hujan hingga bertemu pelangi. Aku berterima kasih, karena telah mencintai.

Untuk pria bermata sipit,
yang menyediakan "tempat persembunyian",
paling menyenangkan.

Secret Admirer
Sabtu, 10 Oktober 2015 • 5:30 PM • 0 comments
Pagi ini, aku pergi sekolah seperti pagi pagi sebelumnya. Aku mengayuh sepedah pancal merah mudaku dengan perasaan gugup lalu memasuki area sekolah dengan jantung yang berdebar debar. Tak lama setelah aku menginjak tiang penopang sepedahku, kudapati Changwoo oppa baru saja memarkir sepedahnya juga. Aku berbalik, memperhatikan setiap gerak geriknya, berjalan mengikuti langkahnya. Setelah beberapa menit, langkahku seketika terhenti. Mataku tertuju pada gadis berambut ombre pirang yang sepertinya sedang menunggu seseorang didepan lorong kelas. Aku semakin yakin untuk menghentikan langkahku lagi ketika melihat Changwook oppa berhenti didepan gadis itu kemudian berjalan bersama menuju kelas.
Tubuhku kaku dan aku masih berada di tempat yang sama. Menatap punggung yang semakin menjauh. Berharap pemiliknya akan berbalik. Berlari kearahku dan memelukku. Hanya aku bersama perasaan bodoh ini. Diam. Membenci diri yang tak bisa jujur padanya. Aku sungguh ingin memeluknya, namun aku hanyalah angin yang melingkar di tubuhnya tanpa sepengetahuannya. Tanpa disadari olehnya.
Cuaca mendung sore itu menyelimuti tubuhku, aku duduk ditaman dengan pikiran yang kalut. Memandang langit berharap agar hujan segera turun. Sweater tebal yang kukenakan masih saja membuatku merasa kedinginan akan angin kencang. Aku berjalan perlahan dengan menggendong tas sekolah yang masih menempel dipunggungku. Kemudian, hujan pun turun.
Aku berhenti sejenak pada sebuah minimarket untuk membeli beberapa soda. Ya, aku masih berusia 14 tahun dan bir masih menjadi barang terlarang untukku. Aku duduk dan berteduh di payung payung depan minimarket. Meminum soda-sodaku sambil menunggu hujan reda.
 “Lee Seulmi? Kau kah itu?” Han Jiyoung duduk tepat di kursi depanku. “Kau kehujanan? Apa kau tidak kedinginan? Pakailah jaketku dahulu!” Ia menyelimutkan jaket tebalnya padaku. “Gomawo, Jiyoung-ah.” Aku berusaha menahan air mata yang memberontak untuk jatuh. “Ne, cheonma.” “Seulmi-ah? Kau menangis?” Ia menatap mataku yang merah dan bengkak. Aku berusaha tersenyum kepada sahabatku itu, namun apa daya, lagi-lagi aku gagal menyembunyikan masalahku darinya. “Jiyoung-ah.. Aku bimbang, ini sungguh terasa sakit” Air mataku semakin deras hingga membentuk sungai yang mengalir dipipiku. Jiyoung memberikan bahunya padaku, sambil memelukku ia berkata “Apa tentang Changwook oppa lagi?” ia menepuk-nepuk punggungku. “Begitulah, aku hanyalah debu dipelupuk matanya, Jiyoung-ah. Meski dekat namun ia tak melihatku.” aku masih saja tak sanggup untuk berhenti menitikkan air mata. “Bagaimana bisa begitu? Ada apa sebenarnya? Katakan padaku!” Jiyoung melepas pelukannya dan menatapku. “Tak apa, tidak terlalu penting juga sebenarnya. Aku hanya menuruti perasaan bodohku. Perasaan sakit ketika melihatnya bersama yeoja lain.” Semakin deras dan Jiyoung terus menepuk punggungku  berusaha menghiburku. “Menangislah, jika dengan begitu kau menjadi lega lakukanlah. Apa kau ingin aku mengatakan hal ini pada Changwook oppa?” Seketika tangisku terhenti lalu menatap sahabatku itu. “Mwo? Tidak tidak. Kukira itu akan membuat segalanya menjadi semakin kacau,” Aku meneguk sodaku kembali. “Kupikir aku memang harus mengatakannya,” ia meneguk sodaku. “Kau tak boleh minum banyak soda, biar aku bantu menghabiskan” ia meneguk lagi. Aku menggenggam kaleng sodaku sambil menatap gadis berambut ikal itu meneguk soda dengan senyum tipis diwajahnya. “Gomawo, Jiyoung-ah. Kau memang saudara beda keluargaku,” Aku tertawa dan kemudian disusul dengan tawanya. “Sungguh?” ia membalas. Tawa kami pun meledak.
Awan telah menjadi ringan sehingga tidak menitikkan butiran air lagi. Dan angka digital jam tanganku telah menunjukkan  07:30. Kurasa Eomma sedang berputar-putar memikirkan kondisiku. Aku belum sempat pulang sama sekali semenjak bel pulang sekolah berbunyi. “Oke, aku benar-benar akan mengatakannya pada Changwook oppa! Tanpa sepengetahuanmu wek,” Jiyoung menjulurkan lidahnya kepadaku bermaksud menggodaku. “Ya, lalu mengapa kau mengatakan ini kepadaku?” Aku memasang wajah flat. “Hehe, kupikir kau akan mencegahku.” ia tertawa, dan tawanya sungguh memaksa. “Baiklah, kurasa aku harus pulang. Jaketmu aku bawa dahulu, ya!” “Sampai jumpa besok!” ia melambaikan tangannya kepadaku.
 “Setidaknya aku cukup terhibur,” aku memperhatikan langkah demi langkahku menuju rumah dengan pakaian rangkap empat. Dengan badan yang menggigil aku melepas sepatuku dan menatanya di teras, kemudian membuka pintu. “Seulmi! Dari mana saja kau ini? Eomma sungguh khawatir, ponselmu tidak dapat kuhubungi, Eomma menelefon sekolahmu katanya kau sudah pulang, darimana saja kau, ha?” teriakkan Eomma memekakkan telingaku seketika. “Mian Eomma. Aku lelah, aku ingin istirahat,” aku terus melangkah menuju markasku tanpa memerdulikan Eomma. “Begitukah? Baiklah kau pasti kehujanan. Cepat mandi dan ganti pakaianmu, akan kubuatkan teh,”. Lekas aku membersihkan diri lalu mengenakan piama dengan motif kelinci berwarna tosca. Aku menghampiri Eomma di ruang keluarga sambil menyembunyikan luka yang masih baru aku rasakan. “Gomabta Eomma, setelah ini aku akan segera tidur.” Aku meneguk teh yang Eomma buatkan dan bergegas menuju kamar untuk mengukir mimpi.
Aku membanting tubuhku pada ranjang dan membuka ponsel. Yang aku lakukan hanyalah membuka kakaotalk--tidak ada pesan--kututup kembali. Ku pejamkan mataku. Tak sadar buliran air mataku terjatuh. Aku hanya ingin merasa tenang saat ini. Kekuatan macam apa yang dimiliki seorang secret admirer sepertiku?

Sebut saja.... Kehidupan
Selasa, 30 Desember 2014 • 1:26 PM • 0 comments
Pernahkah kau menghabiskan waktumu hanya untuk bersama novel, komik, ponsel, dan laptop? Kau begitu karena merasa tidak ada yang bisa mengerti dirimu kecuali 'mereka'. Kemudian kau menyembunyikan 'luka' dengan senyum dan tawa dan orang-orang mempercayainya.
Setelah sekian lama, kau akhirnya bertemu seseorang yang dapat mengendalikan 'emosinal'mu. Menghapus air matamu. Membuat tawa yang sungguhan. Pernahkah?
Seindah itu kami bertemu, lalu dengan mudahnya kami berpisah. Kapanpun dimanapun dan dengan siapapun aku berada, aku terus memikirkannya. Tidak, tidak, lebih jelasnya, sepertinya aku mengalami gangguan psikologis seperti melihat fatamorgana bahwa semua pria adalah dia. Aku terlihat menyedihkan? Entahlah. Aku mahir dalam melupakan sesuatu, namun tidak dalam hal melupakannya. Ini sihir, aku tersihir olehnya.
Setelah 'kecalakaan' itu, akankah kau merasa bahwa hatimu sedang tidak baik-baik saja? Tidak baik-baik saja karena orang yang selama dua setengah tahun mengisi harimu dan menghapus air matamu malah membuatmu menangis. Ah, ini lelucon.
Dan kau sekarang mencoba untuk membuka hati pada pria lain, mencoba melawan 'ketidakmahiranmu', dan hasilnya? Kau kembali berpacaran dengan novel, komik, dan gadgetmu. Hahaha. Air mata keluar bersama dengan tawa yang sesak.
Setelah semua 'luka' itu, ibu dan ayahmu juga menekan dan tidak menghargai usahamu. Akahkah luka itu sembuh? Tidak, justru semakin memar. Kau kehilangan orang yang kau percaya, dan orang tuamu menekanmu, kau akan mengadu kepada siapa? Kepada gadgetmu? Komik? Novel? Haha. Kau hanya bisa tertawa menghibur dirimu sendiri.
Sudahlah, mungkin ini yang disebut dengan takdir, dan mungkin aku memang harus menerimanya.

Untuk Seseorang Yang Tak Akan Menjadi Nyata
Selasa, 14 Oktober 2014 • 11:29 AM • 1 comments
Di tengah batuk dan pilek yang menyiksaku, gadis bodoh ini tak ingin mengungkapkan banyak hal, walaupun sebisa mungkin aku berusaha tidak menulis banyak hal tentangmu, tapi kuyakin tulisan ini akan terdiri dari beberapa paragraf. Yang isinya, tentu saja tak akan pernah terbaca olehmu.

Pria berzodiak Capricorn telah menghipnotis seluruh syaraf otakku untuk selalu berfikir tentangnya. Mengisi disetiap ruang kosong di otakku. Berkelana kesana kemari tanpa ada hentinya. Iya kamu, kamu sudah membuatku menjadi gila. Semua ide-ide yang aku lontarkan menjadi tak masuk akal dan di luar kebiasaanku. Bayangmu menghantuiku di setiap tempat dan kondisi. Jika begini terus, akankah jiwaku terbunuh oleh perasaan yang mencengkramku ini?



Hari itu, aku mengantar sahabatku untuk turnamen bidang olahraga basket. Melihatnya melakukan lay up dan three point mengingatkanku kepada sosokmu-lagi. Aku berusaha tak acuh. Namun apa yang otakku lakukan, semakin jauh terjatuh kedalam memori lama kita-aku-dan-kamu. Teringat disaat aku memberimu semangat untuk memenangkan turnamen basket waktu itu. Membelikanmu minuman ion dan mengambil beberapa fotomu. Sepatu nike berwarna putih-biru menjadi ciri khasmu. Jaket merah yang melekat pada tubuhmu dan wangi parfum yang tak akan pernah kulupakan. Ah, sekali lagi aku terjebak dalam perasaan ini.

Aku tidak mengerti, mengapa kamu menjelma menjadi sesuatu yang selalu kutakutkan. Setiap melihatmu, ada bayang-bayang masa lalu yang berusaha kulawan. Namun, semakin aku menjauh, semakin sosokmu dekat dan nyata. Mungkin ini salahku yang jatuh cinta padamu, yang tak bisa menerima bahwa kita memang tak bisa bersatu.


Ketika aku bertemu denganmu, aku tak meminta banyak hal selain bisa terus dekat denganmu. Meskipun harus menjadi bayang-bayang ataupun angin yang menyentuh rambut tebalmu. Aku hanya bisa memandangimu dari kejauhan. Aku bersama imajinasiku yang tak akan menemukan titik terangnya, menatap kosong wajahmu hingga meneteskan buliran air mata tak berarti. Entah mengapa; kamu selalu tampak memesona meskipun kau mungkin tak menyadari bahwa gadis ini telah mencintaimu dengan sangat berani.


Kita mungkin pernah dekat, namun kedekatan yang aku anggap akan berlanjut itu berakhir seperti asap yang mengepul di udara, menghilangkan jejak, pergi tanpa meninggalkan seuntai kata sama sekali. Kamu seperti mimpiku yang hanya sesaat datang dan menjadi indah, lalu pergi tak membekas.


Hai, kamu, yang sudah menempuh hidup bahagia tanpa aku. Sudah dua setengah tahun dan aku tak punya alasan yang masuk akal untuk melupakanmu. Sudah lama semenjak kita berpisah, dan aku masih sangat mencintaimu, sedalam dulu, ketika pertama kali; kau memanggilku 'Nceng'.

untuk yang selalu berkata
bahwa cinta hanyalah ilusi

Dear Love,
Senin, 15 September 2014 • 12:41 PM • 0 comments
Cinta, perasaan yang pasti dimiliki oleh setiap insan di dunia. Namun aku masih saja membenci kehadirannya. Iya, aku sungguh membenci kehadiran cinta.
Orang bilang cinta adalah bahasa yang hanya diketahui dua orang yang merasakannya. Orang juga bilang, cinta pertama adalah cinta terindah dan tidak mudah dilupakan kenangannya, namun mengapa orang-orang tetap berakhir pada cinta-cinta berikutnya? Ini terlalu rumit untuk gadis smp seumuranku.

Tuhan, untuk sekali saja kumohon jelaskan apa definisi cinta ini. Aku ingin mengadu kepadaMu untuk sesuatu yang hingga saat ini aku tak tahu jawabannya.
Tuhan, cinta memang tak pernah berubah, tetapi orang-orangnyalah yang berubah. Itulah mengapa aku selalu merasa kecewa, Tuhan. Aku merasa 'mereka' yang aku beri perasaan ini sesalu saja membuatku kecewa terus menerus, meskipun orang-orangnya berbeda, namun mengapa aku terus merasa kecewa?
Apa aku merasa kecewa karena aku berfikir mereka tidak akan mengecewakanku? Iya, mungkin.

Tuhan, aku ingin menyampaikan sejuta pertanyaan di hatiku padaMu. Aku sedang menyukai seseorang kali ini. Sungguh, sedari awal aku sangat membenci kehadiran perasaan ini. Aku sudah berusaha untuk menahannya, tapi tetap saja jantung ini berdegup kencang ketika ia menatap mataku. Aku juga bertingkah kaku ketika dia berjalan mendekat kearahku. Aku tidak bisa menghindarinya, Tuhan. Bagaimana?

Dan ketika aku memiliki ambisi untuk membiarkan perasaan ini apa adanya. Muncul sejuta keinginan untuk membuatku tetap bersama pria itu. Apapun caranya aku selalu ingin berada didekatnya. Dan.. Kini aku merasa iri, cemburu, jika ada gadis lain yang bisa membuatnya tertawa. Untuk kesekian kalinya cinta telah membuat sungai mengalir di pipiku. Lalu apa yang seharusnya aku lakukan? Ketika aku ingin mengikuti dan menuruti ajakannya aku pasti meminta ijin kepada orang tuaku. Dan itu selalu bertentangan denganku, Tuhan..

Aku ingin melihat ia tertawa karena aku. Bukan tertawa karena gadis lain dan aku tidak berada disana. Apakah cinta selalu seperti ini? Seperti mustahil rasanya jika cinta tak mengukir sebuah tangisan.


PAST
MY WORDS;